Saya sebenarnya bukan termasuk penggemar mi, walau dibesarkan di dalam keluarga yang maniak dengan olahan tepung yang satu ini. Dibandingkan mi, saya lebih suka bubur atau lontong, kedua makanan ini sanggup saya santap setiap hari tanpa bosan. Tapi dulu, ketika masih kecil dan tinggal bersama keluarga Mbah di Paron, hampir 3 atau 4 kali dalam seminggu Mbah akan membuat mi rebus. Mi kering kuning kiloan murah harganya, cukup ditambahkan sayur seperti kol, wortel dan daun bawang, bersama air segentong, garam dan micin, jadilah mi rebus yang dalam sekejap licin tandas diserbu anggota keluarga yang selalu merasa kelaparan. Tidak ada tambahan telur, bakso atau ayam, ketiga bahan makanan ini adalah barang mewah di keluarga kami waktu itu.
Apalagi jika musim hujan mulai tiba. Udara dingin dan suara tetesan hujan di atap rumah yang bocor disana sini, seakan menjadi penggugah selera makan. Mi rebus dengan banyak kol dan kuah adalah obatnya. Masa kecil saya tidak bisa dikatakan menyenangkan secara ekonomi, makanan terbatas jumlahnya dan sama sekali tidak mewah. Mungkin itu yang menyebabkan sekarang saya jadi berotak foodie dan selalu membeli atau memasak makanan dalam porsi besar, orang jawa menyebutnya dengan kemaruk. Porsi kecil selalu membuat hati ini terbersit rasa kurang, walau sebenarnya ketika dimakan banyak yang tersisa.
Klik untuk baca selanjutnya...