Banyak hal yang bisa diceritakan selama di Ubud, Bali, hasil traveling saya kesana bulan lalu. Cerita bagian pertamanya bisa diklik pada link disini. Satu destinasi wisata terkenal di Ubud tentu saja adalah Monkey Forest. Hutan lindung ini membentang luas di satu sisi Jalan Raya Monkey Forest, pepohonan besar menaungi mulai dari gerbang masuk hingga ke ke seluruh hutan. Suasananya lembab, teduh dan sedikit remang-remang. Saya tidak berminat memasuki hutan ini, alasan utama karena monyet-monyet yang berada disana. Sesuai namanya maka hutan ini berisikan banyak monyet. Tidak perlu hingga masuk kedalam hutan, dari tepian pagar di pinggir jalan pun kita bisa melihatnya. Binatang ini duduk manis berderet diatas tembok pagar, beberapa induk tampak menggendong baby monyet yang menggelayut di pundaknya.
Seusai melepas dahaga di Bali Kopi House yang letaknya tidak jauh dari Monkey Forest, saya dan Lily, rekan selama di Bali, lantas kembali ke Venezia Spa. Kami telah memesan tempat untuk pijat disana sejak 2 jam yang lalu, kini waktu giliran telah tiba. Spa ini terletak di Jalan Monkey Forest, tak jauh dari kafe tempat kami nongkrong. Satu jam spa dibandrol 120 ribu rupiah, saya memilih back and shoulders saja dan harganya 140 ribu rupiah. Saya memang lebih suka bagian punggung dan bahu lebih lama dipijat dibandingkan bagian tubuh lainnya. Kami diletakkan dalam satu ruangan yang sama, kamar terlihat bersih dilengkapi dengan kamar mandi didalamnya, lokasinya langsung menghadap ke arah persawahan. Sayangnya hari itu tanaman padi telah usai panen meninggalkan sisa batang berwarna coklat dan tanah kering. Si Mbak yang memijat saya ternyata berasal dari Nongkorejo, Ngawi, tak jauh dari Paron, kampung halaman saya. Kami tertawa ngakak ketika tahu mengenai daerah asal masing-masing. Pijatannya enak, pas dan tidak terlalu strong. Walau bertubuh pendekar (pendek dan kekar), saya tidak terlalu tahan dengan pijat yang terlalu keras.
Satu jam pijat cukup membuat badan terasa lebih fresh dan nyaman, kami kemudian duduk di kursi-kursi taman menikmati sepiring buah-buahan segar dan secangkir teh jahe yang nikmat. Saat sedang asyik mengobrol itulah saya melihat beberapa ekor monyet muncul diatas atap bangunan spa. Awalnya hanya seekor, dilanjutkan dengan rekan lainnya, dan akhirnya lima ekor monyet nangkring disana tampak bersiap-siap hendak meloncat ke atas meja. Saya langsung berteriak memanggil Mbak petugas spa. Mbak -mbak yang bertugas di spa ini rupanya sudah terbiasa dengan serbuan monyet, salah seorang membawa ketapel dan menembakkan batu-batu kecil ke atas atap membuat monyet-monyet ini lari tunggang langgang. Ternyata aroma potongan pepaya, semangka dan nanas dimeja mampu dideteksi monyet dan membuat mereka datang dengan cepat.
Selepas dari Venezia spa, jam makan siang sudah lama berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore dan perut kami sudah kelaparan berat. Ada satu resto ayam betutu terkenal yang direkomendasikan di TripAdvisor, yaitu ayam betutu Pak Sanur di jalan Arjuna. Walau mbak yang betugas di spa Venezia mengatakan resto itu kemungkinan sudah tutup karena terlalu siang, kami tetap meluncur kesana menggunakan motor. Tidak susah menemukannya, tapi apesnya restoran ini telah tutup. Kami pergi ke pasar Ubud, Lily memarkirkan motornya di tempat parkir didepan pasar yang padat. Waktu kemudian dihabiskan dengan berjalan menyusuri pasar, tidak terlalu berminat membeli aneka barang yang dijual disana karena terkenal dengan harganya yang mahal. Saya hanya melihat-lihat sambil sesekali mengambil foto. Haus yang menyengat akhirnya membawa saya dan Lily mencari kafe yang enak buat nongkrong. Terus terang, walau sepanjang jalan raya Ubud dipenuhi dengan aneka kafe tapi tidak ada satupun yang menarik minat saya. Makanan yang disajikan adalah menu internasional, atau makanan biasa seperti seperti sapi lada hitam, mi goreng, atau nasi goreng. Susah menemukan masakan Bali lokal di kafe-kafe sepanjang jalanan ini.
Kami akhirnya masuk ke satu kafe yang terletak di sebelah restoran Italia, berseberangan dengan Starbucks, saya lupa dengan nama kafenya. Kebetulan meja yang diincar tidak ada yang menduduki, letaknya pas ditepian jalan sehingga mudah memandang turis berlalu lalang. Memutuskan tidak makan - tidak ada menu menarik yang membuat saya ingin mencoba dan harga makanannya tobat mahalnya - jadi kami hanya memesan dua gelas es kopi. Pelayannya luar biasa ramah, menawarkan promo diskon untuk pembelian tertentu, dan memberikan kartu namanya. Saya impressed dengan gayanya yang menghargai turis domestik seperti kami, walau hanya hanya membeli dua gelas es kopi saja. Di Bali, es kopi yang disajikan umumnya berbentuk milk shake dengan es krim sebagai toppingnya. Lumayan berat kalorinya jadi makanan sama sekali tidak diperlukan. Selama di Bali, jalan kaki, aktifitas yang padat, makan yang tidak berlebihan membuat berat badan saya turun sebanyak 3 kg dengan cepat. Luar biasa!
Duduk di kafe memandang turis-turis asing berlalu-lalang dengan aneka busana dan gaya mereka menjadi cara membunuh waktu yang menyenangkan. Turis Western biasanya mengenakan pakaian musim panas dengan bahan sesedikit mungkin menempel di badan, kaki beralaskan sepatu kets atau sandal tipis, dengan tas punggung atau tas selempang simple. Turis Korea dan China biasanya kebalikannya, mereka justru mengenakan pakaian berenda-renda yang panjang hingga menyentuh mata kaki, sepatu berhak tinggi, full make up dengan topi lebar ala-ala Little Missy. Turis domestik seperti saya biasanya mengenakan pakaian full tertutup, mulai dari celana jeans panjang, kemeja lengan panjang atau jaket untuk menghalau sinar matahari
Selepas dari Venezia spa, jam makan siang sudah lama berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore dan perut kami sudah kelaparan berat. Ada satu resto ayam betutu terkenal yang direkomendasikan di TripAdvisor, yaitu ayam betutu Pak Sanur di jalan Arjuna. Walau mbak yang betugas di spa Venezia mengatakan resto itu kemungkinan sudah tutup karena terlalu siang, kami tetap meluncur kesana menggunakan motor. Tidak susah menemukannya, tapi apesnya restoran ini telah tutup. Kami pergi ke pasar Ubud, Lily memarkirkan motornya di tempat parkir didepan pasar yang padat. Waktu kemudian dihabiskan dengan berjalan menyusuri pasar, tidak terlalu berminat membeli aneka barang yang dijual disana karena terkenal dengan harganya yang mahal. Saya hanya melihat-lihat sambil sesekali mengambil foto. Haus yang menyengat akhirnya membawa saya dan Lily mencari kafe yang enak buat nongkrong. Terus terang, walau sepanjang jalan raya Ubud dipenuhi dengan aneka kafe tapi tidak ada satupun yang menarik minat saya. Makanan yang disajikan adalah menu internasional, atau makanan biasa seperti seperti sapi lada hitam, mi goreng, atau nasi goreng. Susah menemukan masakan Bali lokal di kafe-kafe sepanjang jalanan ini.
Kami akhirnya masuk ke satu kafe yang terletak di sebelah restoran Italia, berseberangan dengan Starbucks, saya lupa dengan nama kafenya. Kebetulan meja yang diincar tidak ada yang menduduki, letaknya pas ditepian jalan sehingga mudah memandang turis berlalu lalang. Memutuskan tidak makan - tidak ada menu menarik yang membuat saya ingin mencoba dan harga makanannya tobat mahalnya - jadi kami hanya memesan dua gelas es kopi. Pelayannya luar biasa ramah, menawarkan promo diskon untuk pembelian tertentu, dan memberikan kartu namanya. Saya impressed dengan gayanya yang menghargai turis domestik seperti kami, walau hanya hanya membeli dua gelas es kopi saja. Di Bali, es kopi yang disajikan umumnya berbentuk milk shake dengan es krim sebagai toppingnya. Lumayan berat kalorinya jadi makanan sama sekali tidak diperlukan. Selama di Bali, jalan kaki, aktifitas yang padat, makan yang tidak berlebihan membuat berat badan saya turun sebanyak 3 kg dengan cepat. Luar biasa!
Duduk di kafe memandang turis-turis asing berlalu-lalang dengan aneka busana dan gaya mereka menjadi cara membunuh waktu yang menyenangkan. Turis Western biasanya mengenakan pakaian musim panas dengan bahan sesedikit mungkin menempel di badan, kaki beralaskan sepatu kets atau sandal tipis, dengan tas punggung atau tas selempang simple. Turis Korea dan China biasanya kebalikannya, mereka justru mengenakan pakaian berenda-renda yang panjang hingga menyentuh mata kaki, sepatu berhak tinggi, full make up dengan topi lebar ala-ala Little Missy. Turis domestik seperti saya biasanya mengenakan pakaian full tertutup, mulai dari celana jeans panjang, kemeja lengan panjang atau jaket untuk menghalau sinar matahari