Jika ada masa sekolah - dari SD hingga universitas - yang paling saya benci dan berusaha dihilangkan dari memory otak maka itu adalah masa saat SMP di Ngawi. Walau masa sekolah kala SD di Paron juga tidak tergolong indah, tapi banyak momen menyenangkan saat bermain bersama teman-teman di pedesaan, di sawah, dan saya punya banyak sohib yang mengasyikkan. Selain itu, sekolah di desa kecil tidaklah terlalu banyak tuntutan, ruang lingkupnya sempit dan tidak membuat deg-degan selayaknya jenjang berikutnya. Ketika masuk ke salah satu SMP di kota kabupaten Ngawi, saya dibuat meriang dengan banyaknya anak yang bersekolah. Kelas satu saja terdiri dari 10 kelas, dimana masing-masing kelas paling tidak berisi sekitar 45 murid. Bayangkan betapa melongonya saya melihat beragam-macam siswa-siswi mulai dari yang cantik, ganteng, sophisticated, kaya, rapi jali, kelimis, hingga amburadul dan acak adul seperti saya. Beberapa murid begitu cantik dan ganteng, atau begitu pintar hingga semua nilai di NEM-nya mendekati sepuluh, membuat saya minder sendiri. Swear, saya seakan diceburkan dari lingkungan nyaman nan sederhana, ke dunia lain yang seakan saya tak akan pernah bisa menyesuaikan diri. Jika ingatan akan masa tiga tahun bersekolah pada jenjang ini bisa dihapus, maka akan saya delete selamanya dari kepala yang setengah penuh ini. Tobat!