Hari Sabtu, saya sudah berencana hendak membuat bacang ketan. Selama ini jika membeli bacang di tukang kue, selalu bacang nasi. Beberapa teman Chinese - yang setiap perayaan Imlek selalu menghadirkan bacang ketan di rumah mereka - menggebu-gebu mendengar rencana saya. Bahkan berkata betapa sedapnya bacang ketan isi daging dan telur asin dibandingkan bacang nasi. Tentu saja komen-komen itu membuat saya semakin panas. Hari itu saya lantas menonton aneka video di You Tube, cara membungkus bacang. Satu kendala membuat bacang sendiri adalah daun bambu khusus bacang. Daunnya kudu lebar dan ukurannya lebih besar dari daun bambu umumnya. Untungnya, Pak Kustandi, rekan kantor yang tinggal di daerah pasar Jatinegara punya langganan tukang bacang. Saya lantas memesan segepok daun bambu yang kira-kira cukup untuk membuat 20 buah bacang.
Daun bambu tersedia, talinya saya pakai benang kasur putih yang berukuran tebal. Nah hari Sabtunya saya berencana membeli ketan di pasar. Jika direndam sejak pagi maka malamnya bacang bisa dieksekusi. Tapi apa yang terjadi? Sejak pagi cuaca mendung, yang paling sedap dipakai tidur sampai siang. Disusul dengan hujan deras terus-menerus, yang paling sedap dipakai bermalas-malasan. Hingga hari Minggu, cuaca sangat tidak mendukung urusan perbacangan, dan akhirnya hingga hari ini daun bambu masih terbungkus kertas koran didalam kulkas. Saya kudu segera mengeksekusi si bacang, karena terlalu lama didalam kulkas akan membuat daun kering dan rapuh. Tapi apa daya, semangat membuat bacang telah lenyap. Tobat!
Klik untuk baca selanjutnya...